DJAENOEDIN


Prof.DRH.R.Djaenudin, salah satu sarjana Indonesia tertua (2) dalam Ilmu Kedokteran Hewan. Beliau pada 15 Agustus 1967 oleh Pemerintah Republik Indonesia  dianugerahi   Bintang Jasa Kelas I bidang ilmiah melalui Departemen Pertanian.
            Gelar Dokter Hewan diperoleh di Buitenzorg (Bogor) pada tahun 1918 ketika ia lulus dari NIVS (Nederlandsch Indische Veeartsen School). Semenjak itu beliau bekerja sebagai Asisten Leraar bagian anatomi di NIVS, kemudian dari thn. 1925 sampai 1942 diperbantukan pula sebagai Asisten bagian bacteriologi di Veeartsenijkundig Laboratorium. Pada thn. 1927 Laboratorium ini diperluas fungsinya dan menjadi Veeartsenijkundig Instituut, (Lembaga Kedokteran Hewan).
Diluar kedua jabatan itu, sejak thn. 1922 selama 20 tahun beliau menjadi anggauta Gemeenteraad Buitenzorg (DPRD sekarang) mewakili Parindra dan berjuang untuk ´Kampoeng verbetering´, atau perbaikan kampung seperti proyek MHT jamannya Ali Sadikin sewaktu menjabat Gubernur DKI Jakarta.
            Dijaman Jepang Veeartsenijkundig Instituut dipegang oleh tenaga-2 Jepang, namanya diganti menjadi Balai Penyelidikan Penyakit Hewan. Setelah kapitulasi Jepang, BPPH diteruskan oleh Pemerintah RI dan Drh.Djaenudin diangkat menjadi kepalanya. Nama Badan itu kemudian diubah menjadi Lembaga Pusat Penyakit Hewan (LPPH).
            Pada tahun 1946, setelah dipertimbangkan masak2, Sekolah Dokter Hewan di Bogor yang dikuasai Nica, dijadikan Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) oleh Pemerintah Republik Indonesia. Drh.Djaenudin diangkat sebagai guru besar (luar biasa), sekaligus gelar penghargaan menjadi Profesor yang pertama pada perguruan tinggi tersebut. Disamping menjadi kepala BPPH masa itu, Drh.Djaenudin juga menjadi Profesor pada PTKH.
Profesor yang ramah tamah, tekun, humoris, bersemangat dan bekerja “all round” dibidang Ilmu Kedokteran Hewan, sudah mengabdikan hidupnya selama 42 tahun.             
(nara-sumber majalah Intisari Okt´1967, Diriwayatkan kembali oleh: R. Harry Soehartono)




Hampir seluruh dedikasi hidupnya Prof. Drh. Djaenoedin dicurahkan kepada ilmu kedokteran hewan dengan cara pendidikan, penelitian dan penyuluhan untuk mempertinggi pengetahuan mencegah penyakit hewan dan menyempurnakan kesuburan peternakan.  Dalam hal ini hasil karyanya ditulis dan dimuat didalam majalah “  Nederlands-Indische Bladen voor Diergeneeskunde ”.
Pada tahun 1949 nama madjalah itu diganti menjadi `Hemera Zoa´, dengan dewan redaksinya diketuai oleh Drh. R. Djaenoedin sendiri. Essay ilmiah itu meliputi masalah-masalah yang melingkupi penyakit-2 kuda, babi, kerbau, kambing, ayam, manusia dsb. Prestasi karya Drh. Djaenoedin itu telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa asing, majalah-2 terbitan luar-negeri dan memperoleh penghargaan international.  Karya-karyanya adalah  hasil laporan selama menjadi asisten Prof. DR. Kraneveld, dimana kesempatan studi dan praktek secara empiris sangat luas. Risalah pertama yang ditulis yaitu „De witte bloedlichaampjes van de karbouw“. Selama ini tidak kurang dari 82 buah karangan ilmiahnya dimuat dalam majalah ilmu tersebut diatas sejak tahun 1928 sampai 1960.
Dijaman penjajahan Jepang di Indonesia Veeartsenijkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Hewan) dipegang oleh tenaga-2 Jepang. Namanya diganti menjadi Balai Penyelidikan Penyakit Hewan. Setelah kapitulasi Jepang BPPH diteruskan oleh Pemerintahan RI dan Drh. Djaenoedin diangkat menjadi kepalanya. Nama balai itu kemudian diubah menjadi Lembaga Pusat Penyakit Hewan, sekarang bernama Bbalitvet. Semasa aksi polisionil Belanda tahun 1947, BPPH diserbu NICA (Belanda) dan didudukinya. Tapi Drh. Djaenoedin berhasil menuntutnya kembali. dan BPPH serta sebagian labotariumnya dapat dipindahkan ke Klaten, kemudian diserahkan kepada Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta.
Pada bulan Maret 1946 Pemerintahan RI membentuk Panitia Pendirian Sekolah Dokter Hewan Tinggi, dimana Drh. Djaenoedin sebagai anggotanya. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kemakmuran RI No. 1280/a/Per Tgl. 20 Sep. 1946 didirikan Perguruan Tinggi Kedoteran Hewan (PTKH), oleh Pemerintah RI Drh. J.F. Mohede ditunjuk sebagai ketuanya. Sementara Drh. Djaenoedin diangkat sebagai guru-besar (luar biasa). Jadi disamping menjadi Kepala BPPH masa itu Drh. Djaenoedin juga menjadi Profesor yang pertama pada perguruan tinggi tersebut.
Menjelang akhir tahun 1956, Pemerintah mengizinkan untuk mulai membangun sebuah gedung baru, sebagai tambahan dari Lembaga Virologi. Gedung baru ini cukup memadai bisa menampung peralatan dan mesin-2 besar untuk mengering-bekukan vaksin antara lain vaksin ND dan vaksin Rabies. Pada tanggal 26 Juli 1958 gedung tersebut diresmikan penggunaannya oleh Prof. Drh. R. Djaenoedin pada saat memperingati 50 tahun berdirinya LPPH. Pidato jubilium 50 tahun lembaga tersebut terdapat di Majalah Hemera Zoa tahun 1958 edisi 65.
Jika Lembaga Penyakit Hewan dapat terus berdiri dan menjadi milik bangsa Indonesia sampai sekarang, antara lain adalah berkat keikhlasan Drh. Djaenoedin dalam memupuk dan membimbing tenaga-tenaga ahli muda yang diharapkan bisa meneruskan dan mempertahankan berdirinya Lembaga tersebut.(Diambil dari Majalah Intisari Oktober 1967, Seratus Tahun (1908-2008) Bbalitvet Bogor, Kumpulan Karangan Ilmiah dari LPPH dan Sejarah Dokter Hewan dari website FKH-UGM)



Setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kemakmuran pada bulan Desember 1945, mengangkat / menunjuk Drh. R. Djaenoedin sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh kehormatan dan kepercayaan sebagai pimpinan Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH).
Perlu diketahui bahwa dalam masa pendudukan Jepang dan masa perang kemerdekaan, ternak yang diimpor pada masa sebelum perang, praktis telah habis karena dipotong oleh tentara Jepang dan sisanya dimusnahkan.
Pada masa perang kemerdekaan ini terbina pula kerjasama yang erat antara BPPH dan Sekolah Dokter Hewan yang waktu itu diketuai oleh Dr. J.F. Mohede. Sekolah Dokter Hewan ini kemudian ditingkatkan kedudukannya oleh Pemerintah, menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH) pada tanggal 20 September 1946 dengan Surat Keputusan No.1280/a.Per.  Sebagai Guru Besar Luar Biasa yang pertama pada PTKH ini diangkat Drh. R. Djaenoedin yang bersamaan waktunya menjabat sebagai Direktur BPPH.
Pada tanggal 27 Juli 1947, Belanda melalui Pemerintahan Militernya (N I C A) menyita BPPH dan sebagai direkturnya diangkat Dr.E. de Boer.  Sedangkan Drh. R. Djaenoedin yang tidak bersedia bekerjasama dengan pihak Belanda, digeser dari kedudukannya sebagai Direktur BPPH. Setelah tercapai persetujuan pengembalian kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), Drh. R. Djaenoedin  kemudian dikukuhkan kembali sebagai Direktur BPPH pada tanggal 1 April  1950 dengan SK. Menteri Kemakmuran No.1132/UP/P. tertanggal 25 Maret 1950. Sementara itu, Dr. E. De Boer dipekerjakan sebagai penasehat sampai tanggal 10 Desember 1950.
Meskipun dalam suasana perang, Balai mampu melaksanakan berbagai kegiatan penelitian selama 1947 s/d 1950. Sedikitnya 60 artikel karya ilmiah mengenai berbagai penyakit hewan telah dipublikasikan baik oleh peneliti Belanda maupun Indonesia. Balai mengalami beberapa kali pergantian nama dan susunan keorganisasian. Dimulai dengan Lembaga Penyakit Hewan (LPH) pada tahun 1950 dan Lembaga Pusat Penyakit Hewan (LPPH) pada tahun 1955. LPPH mengalami kemajuan yang pesat. Kerjasama dengan luar negeri mulai dirintis dimana Balai mulai mendapatkan perhatian dari Food and Agriculture Organization (FAO) untuk kemungkinan memperoleh bantuan Marshall Plan, tetapi pelaksanaannya belum tercapai. Sementara itu tenaga-tenaga Indonesia mulai dikirim ke luar negeri diantaranya Belanda, Inggris dan Canada untuk menambah pengetahuannya melalui berbagai badan bantuan asing seperti British Council atau Colombo Plan. Pegawai yang cakap diberi penghargaan yang sepadan, pembuatan vaksin, membangun gedung baru yang cukup memadai untuk menampung peralatan dan mesin-mesin yang besar, meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan pengadaan tunjangan keahlian bagi petugas profesional, Perpustakaan yang memiliki koleksi literatur yang cukup sebagai rujukan ilmu veteriner di Indonesia.
Berdasarkan SK Presiden RI No.296/M tahun 1959 tertanggal 8 Oktober 1959, Direktur LPPH    Prof. Drh.R. Djaenoedin diberhentikan dengan hormat karena telah mencapai masa pensiun. Namun demikian, beliau tetap bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya selama satu tahun kemudian.
(Nara-sumber: Buku 100 tahun (1908-2008)  BBALITVET, Arsip: R. Harry Soehartono)




Setelah Indonesia merdeka, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Kemakmuran pada bulan Desember 1945 mengangkat / menunjuk Drh. R. Djaenoedin sebagai orang Indonesia pertama yang memperoleh kehormatan dan kepercayaan sebagai Pimpinan Balai pada Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) di Bogor, yang sebelumnya sebagai Asisten bagian bacteriologi pada Veeartsenijkundig Instituut (Lembaga Kedokteran Hewan).  Atas Usul Kepala Jawatan Kehewanan RI (R. Sutrisno) maka pada bulan Maret 1946  Menteri Kemakmuran RI telah membentuk Panitia Pendirian Sekolah Dokter Hewan Tinggi, yang anggotanya terdiri dari :
  1. Soeparwi, jabatan waktu itu Inspektur Jawatan Kehewanan Jawa Tengah merangkap Wakil Kepala Jawatan Kehewanan, sebagai ketua.
  2. Samsoe Pocposoegondo, jabatan waktu itu Dokter Hewan Drv sebagai penulis.
  3. Atmodipoero, jabatan waktu itu Inspektur SMP di Magelang sebagai anggota
  4. Iso Reksohadiprojo, jabatan waktu itu Dirjen Kementrian Kemakmuran di Magelang sebagai anggota .
  5. Soeparman Poerwosoedibjo, jabatan waktu itu Kepala Perekonomian Kota Prajaa Cirebon, sebagai anggota.
  6. Djaenoedin, jabatan waktu itu Direktur Balai Penyelidikan Penyakit Hewan di Bogor, sebagai anggota.
  7. Moh. Roza, jabatan waktu itu Dokter Hewan pada BPPH di Bogor, sebagai anggota.
  8. Mohede, jabatan waktu itu Direktur Sekolah Dokter Hewan di Bogor, sebagai anggota.
  9. Garnadi, jabatan waktu itu Guru Sekolah Dokter Hewan Bogor, sebagai anggota
  10. Hoctanradi, jabatan waku itu Inspekur Jawatan Kehewanan di Jawa Timur. sebagai anggota.
  11. Slamet, jabatan waktu itu Dokter Hewan Kotapradja Malang, sebagai anggota
Berdasarkan atas usul-usul panitia ini maka dengan surat keputusan Menteri Kemakmuran RI tanggal 20 september 1946 dengan Surat Keputusan  No. 1280/a/Per. Sekolah Dokter Hewan di Bogor telah diangkat menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (tanggal ini dipakai sebagai tanggal lahir FKH di Indonesia). Sebagai Guru Besar Luar Biasa yang pertama dan menjadi Profesor pada PTKH ini Drh.R. Djaenoedin, yang bersamaan waktunya menjabat sebagai Direktur BPPH. Perguruan Tinggi tersebut diresmikan pada bulan November 1946.
Pada tanggal 27 Juli 1947, Belanda melalui pemerintahan militernya (NICA) menyita BPPH dan sebagai direkturnya diangkat Dr. E. de Boer. Tapi Drh.R.Djaenoedin tidak bersedia bekerjasama dengan pihak Belanda, digeser dari kedudukannya sebagai Direktur BPPH dan kemudian ditempatkan kembali sebagai Kepala BPPH setelah tercapainya persetujuan pengembalian kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Dengan pulihnya kembali Pemerintah Republik Indonesia dan atas persetujuan Perdana Menteri RI,  Drh.R.Djaenoedin secara resmi dikukuhkan kembali sebagai Direktur BPPH pada tanggal 1 April 1950 dengan SK. Menteri Kemakmuran No. 1132/UP/. Tanggal 25 Maret 1950. Sementara itu, Dr. E. de Boer dipekerjakan sebagai penasehat sampai tanggal 10 Desember 1950. Demikianlah dari seorang anak bungsu yang semasa kecil gemar menyabung ayam aduan menjadi Profesor Kedokteran Hewan pertama di Indonesia. ( Diposkan oleh R. Harry Soehartono )
Nara-sumber :
100 tahun (1908-2008) BBALITVET di Bogor.
Majalah Intisari bulan Oktober 1967.