Kakekku


Djaenoedin anak bungsu, dari empat bersaudara, tiga laki-laki dan satu wanita.  Beliau dilahirkan di Ciruas (Banten) pada tanggal  21 Januari 1896. Semasa kanak-kanak sibungsu dikenal nakal dan bandel, baik dirumah maupun dikampungnya. Gemar menyabung ayam aduannya mungkin sekarang adalah ayam bangkok dengan ayam-ayam yang sedang berkeliaran milik tetangga, tanpa diketahui pemiliknya.
            Orang tuanya menginginkan ia menjadi pegawai pamong praja. Ia disekolahkan di Europese Lagere School Serang, lalu melanjutkan di OSVIA, sekolah untuk calon “ambtenaar” atau PNS Depdagri sekarang. Setelah lulus dari OSVIA ( 1914 ) menghadap Residen Beding di Serang untuk ´mel´ atau melapor.  Disana tidak duduk bersila sebagaimana dituntut oleh adat.    Akibatnya ia diusir dan dicaci maki `Kanjeng Residen` : “Kwajongen, pergi kamu...!”.  Memang beliau tidak suka dengan suasana ´nuwun-hinggih´ terhadap atasan dijaman kolonial.  Djaenoedin setelah menikah meneruskan pelajarannya pada NIVS (Nederlandsch Indische Veeartsen School) Buitenzorg  ( Bogor ).   Menjadi Dokter Hewan tadinya bukan yang diidam-idamkannya, tapi lama kelamaan  ilmu ini menarik juga baginya.
            Bagi Prof. Drh. Djaenoedin semasa kerja di kantornya satu-satunya cara yang  “relax” adalah memelihara taman dekat laboratoriumnya, disamping itu beliau menimang ayam aduannya yang dibawa dari rumahnya dan dikandangkan dekat tempat kerjanya, tapi bukan untuk diadu (sabung ayam) hanya untuk dipandang. Di rumahnya terdapat beberapa ayam bangkok kebanggaannya dengan bentuk tubuh yang proposional. Banyak penggemar ayam Bangkok di Bogor yang datang minta nasihat merawat ayam agar sehat prima dan siap tanding. Diakhir hayatnya beliau tinggal di putra tertuanya Uko Sungkono / ayahku ( Jl. Dr. Semeru 61 BOGOR ),  kegemarannya suka mencabuti rumput-rumput liar, terutama alang-alang pasti diberantas sampai akarnya dan membakar sampah sudah menjadi pekerjaan sehari-hari.
 ( dari  L. Gan Ks. Majalah INTISARI Okt´67 dan diriwayatkan kembali oleh R. Harry Soehartono )

dimana-mana tidak ketinggalan picinya (kopiah)

Djaed demikian sering menjadi nama panggilan dari Drh. R. Djaenoedin, sejak kecil memang senang mengenakan pici (kopiah).   Karena beliau tinggal di daerah Ciruas, +/- 17 KM dari Kota Serang – BANTEN, teman bermain adalah tetangga kampung disekitar rumahnya, jadi bukan karena sekolah di Pesantren.   Waktu menghadap Residen Beding di Serang setelah telah lulus dari OSVIA (sekolah calon ambtenaar / Pegawai Pemerintah Daerah sekarang), beliau diusir dan picinya dibuang keluar, karena tidak mengikuti adat.   Beliau tidak duduk bersila dan memakai pici, karena pici khas melambangkan orang pribumi bukan dari golongan ningrat.   Setelah bekerja dan terakhir menjabat Direktur LPPH di Bogor; pici tak pernah tertinggal dikenakannya.   Ada yang menarik dari cerita bekas anak buahnya, kalau ada yang tidak berkenan terhadap pegawainya (marah) di hati Bosnya, maka terlihat picinya mulai miring........................(Bambang Suratmo).




Abing nama populer dari Mochammad Hakim adalah cucu dari R. Sudarna Prawirasudirdja (kakak dari R. Djaenoedin / mbah´Djaed). Ia menjuluki mbah`Djaed dengan panggilan pak Kumico. Diwaktu jaman Jepang, Kumico adalah Kepala Kampung atau jaman sekarang ketua RT/RW. Memang benar Djaenoedin dan istrinya Djohanah Dalfah sering mengumpulkan kerabatnya seperti keponakan atau cucu dari kakaknya, juga dari iparnya. Untuk itu rumah di Ciwaringin BOGOR, selalu merasa hangat dan nyaman dengan rasa kekeluargaan. (Mia Setiawati)
Ketika aku masih SMA
Saya beserta Kakekku............


Ulang tahun pertamaku


Ziarah Makam Nenek Buyut di PANDEGLANG
Rekreasi
LEBARAN



Pernikahan Pamanku.........
Makan bersama di Rumah Kakek.


Kantor Kakekku............